Ticker

6/recent/ticker-posts

Ad Code

Anomali di Bali: Hotel Kosong Meski Turis Berlimpah

Pintu masuk Pulau Dewata telah dibuka secara luas setelah dilewati masa pandemic, banyak wisatawan antusias kembali mereservasi tiket mereka untuk mendarat atau bersandar di pulau yang populer karena pesonanya baik dalam hal alam maupun budaya tersebut. Tak mengherankan jika destinasi seperti Bali seringkali penuh sesak oleh para pengunjung internasional berasal dari penjuru dunia. Misalkan saja Bandara Ngurah Rai, menjadi salah satu tempat transit sibuk tertentu se-Indonesia.

Sepanjang tahun 2024, Badan Pusat Statistik (BPS) merilis data bahwa total kedatangan turis asing mencapai angka 6.333.360 kali kunjungan, naik kira-kira 20,1% jika dibandingkan dengan tahun sebelumnya yang hanya berjumlah 5.273.258 kali kunjungan. Hal ini menunjukkan peningkatan signifikan dan bahkan telah melebihi situasi pra-pandemi, di mana pada tahun 2019 catatan mengisyaratkan adanya 6.275.210 kali kunjungan.

Di awal tahun 2025, Dispar atau Dinas Pariwisata Propinsi Bali berharap akan ada sekitar 17 juta pengunjung turis, dengan perkiraan mencakup 6,5 juta wisatawan internasional. Capaian tujuan ini dilihat sebagai hal yang sangat positif oleh pihak Pemerintahan Propinsi karena angka kedatangan tamu ke Bali terus meningkat setiap tahunnya.

Akan tetapi, terdapat perbedaan signifikan ketika melihat dari perspektif pemain industri pariwisata, khususnya dalam hal akomodasi. Okupansi hotel ternyata menurun sejak awal tahun 2025 ini, seperti para wisatawan yang telah tiba di Pulau Bali secara misterius lenyap tanpabekas. Tak ada satupun yang dapat ditemukan jejak mereka di tempat-tempat tinggal berizin tersebut.

Menurut data dari Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI), terjadi peningkatan aneh dalam hal penggunaan kamar hotel di Bali. Secara keseluruhan, tingkat hunian merosot sebesar 10%, dengan beberapa properti malah turun sampai 20%. Dengan lebih detailnya lagi, hotel bermerek telah mencapai tingkat hunian sekitar 63%, sedangkan untuk hotel tidak berbintang, angkanya berkisar antara 33 hingga 35 persen.

"Bila dibandingkan dengan tahun sebelumnya pada periode serupa, tingkat hunian saat ini sedikit lebih rendah. Itu kurang dari tahun lalu. Pada bulan ini kami (Mercure) mencapai 59% (tingkat hunian), sementara prediksinya adalah 61%," jelas I Nengah Sudiarta, Manajer Hotel Mercure Legian, dalam pertemuan dengan Tirto di tempat tersebut, Selasa (25/03/2025).

Nengah menduga ada beberapa faktor yang mendasari fenomena aneh yang dialami oleh industri perhotelan dalam beberapa periode terakhir. Faktor pertama adalah kurangnya efisiensi anggaran serta dampak dari bulan suci Ramadan yang mempengaruhi minat turis lokal menginap di hotel. Alasannya kedua ialah biaya penerbangan tetap mahal walaupun telah diberlakukan diskon tarif tiket pesawat saat Ramadhan. Sedangkan penyebab ketiganya yaitu situasi iklim dan geografis Indonesia yang cenderung tak dapat diprediksi akhir-akhir ini.

"Para penggemar setia Bali masih berdatangan ke pulau ini. Kadang-kadang, kabar apapun yang tidak menyenangkan terjadi di Bali tersebar dengan cepat dan menjadi viral. Industri pariwisata sangat peka terhadap masalah semacam itu," jelasnya.

Pada masa kini, sektor pariwisata mancanegara ternyata jauh lebih menarik jika dibandingkan dengan lokal. Mengingat penurunan tingkat hunian hotel di Bali akhir-akhir ini, banyak properti perhotelan sedang berusaha membentuk hubungan yang lebih dekat dengan pasar luar negeri. Dari sudut pandang Mercure, mereka juga ingin mencapai segmen bisnis baik itu swasta maupun instansi pemerintahan karena adanya penghematan biaya yang diterima oleh beberapa organisasi tersebut.

"Strategi kami adalah terus membangun relasi dengan pasar di Australia yang beroperasi diluar negeri dan bukan pasar dalam negeri. Kami juga mencoba menemukan pasar baru selain Australia, misalnya India yang saat ini sedang mengalamai pertumbuhan pesat. Bahkan Direktur Penjualan Pemasaran kami tengah berada di India untuk melakukan panggilan penjualan karena pasar sana sangat baik. Di Bali, pengunjung dari India menduduki peringkat kedua," jelas Nengah.

Walaupun telah menerapkan berbagai strategi untuk menarik pengunjung, tampaknya tingkat hunian di hotel terus memakan biaya operasional. Awalnya, Mercure merencanakan okupansi sekitar 66%. Akan tetapi, tujuan itu tidak dapat dicapai sampai akhir Maret dan kemudian diproyeksikan turun menjadi 61%.

"Bulan Maret ini kami rasa merupakan periode yang sangat menantang. Karena adanya Ramadhan, kami merencanakan target lebih rendah untuk Maret. Walaupun sudah memiliki target yang rendah, masih ada peraturan pemerintah tentang efisiensi yang membuat capaian target menjadi sulit. Sementara waktu, bagi pekerja harian, kami akan mengurangi jumlah mereka sampai kondisi okupansi membaik," ungkapnya.

Menelusuri Alasan Kemerosotan Tingkat Kepenuhan Hotel

Berdasarkan data dari PHRI, jumlah turis saat ini masih mendekati angka normal sekitar 16 sampai 17 ribu orang setiap harinya. Akan tetapi, tingkat hunian hotel yang hanya berkisar antara 60 hingga 63%, membuat PHRI selaku asosiasi pengelola hotel dan restoran menjadi khawatir. Ketika diteliti lebih lanjut, ternyata terdapat beberapa faktor yang menyebabkan penurunan okupansi hotel di Bali.

"Setelah kami amati, orang-orang yang hadir di lokasi tersebut berasal dari kalangan menengah-bawah. Sehingga, sebagian besar pilihan penginapan mereka adalah homestay, villa, dan rumah tamu. Mereka jarang menginap di hotel berbintang," terangkan Wakil Ketua PHRI Bali, I Gusti Ngurah Rai Suryawijaya, saat diwawancara oleh Tirto pada hari Jumat, 21 Maret 2025.

Rai juga menyoroti dua elemen tambahan yang mempengaruhi goncangan pada tingkat penghunian hotel di Bali. Yang pertama adalah peningkatan efisiensi anggaran oleh pemerintah pusat, hal ini membuat tingkat pendudukan kamar lokal merosot secara signifikan. Berbagai institusi dan organisasi telah mengurangi dana mereka untuk kegiatan rapat, dampaknya terasa pada industri Meeting, Incentive, Convention, serta Exhibition (MICE).

Kedua, ada individu yang mengelola akomodasi secara illegal atau tanpa izin resmi. Mereka melanggar aturan dengan tidak membayar pajak dan hal ini menciptakan persaingan tak seimbang serta perang harga (price war) di pasar.

Anggota resmi yang menjadi bagian dari PHRI memiliki perangkat detektor pajak yang dapat mengenali pembayaran pajak, sedangkan individu-individu bermasalah itu pastinya luput dari pengawasan sistem.

"Kesepiannya area ini menimbulkan penurunan pendapatan dari segi perpajakan, sektor bisnis, serta potongan gaji pekerja. Selain itu, jika ia tetap tinggal di lantai hotel yang lebih rendah, bisa jadi ia akan sulit terlacak. Semoga saja mereka membayar pajak karena diketahui ada beberapa entitas tidak sah yang dijalankan oleh orang asing. Mereka menjual produk atau layanan tersebut, setelah itu dana masuk ke akun mereka; sangatlah rumit untuk melacak berapa jumlah total transaksinya," katanya.

Setuju, pakar industri perjalanan dan akomodasi serta Direktur Eksekutif PHRI Badung, I Made Sulasa Jaya, mengkritik sistem pelaporan dan pemantauan turis yang berkunjung ke Bali sebagai kurang efektif. Hal ini menyebabkan adanya ruang bagi pedagang tanpa izin atau tamu untuk berpartisipasi dalam praktik tidak sah tanpa diketahui otoritas setempat.

"Alternatif lainnya bisa jadi meningkatkan laju perkembangan akomodasi dengan kecepatan yang tidak dapat dikendalikan melebihi kenaikan jumlah turis," katanya.

Penemuan lain berkaitan dengan modifikasi pilihan fasilitas akomodasi oleh para pelancong. Menurut I Made Bayu Wisnawa, seorang ahli pariwisata dari Universitas Triatma Mulya, mayoritas pengunjung lokal memiliki kecendrungan untuk memimpin dengan pola konsumsi mereka sendiri, durasi tinggal yang relatif singkat, serta masih terbatasnya jumlah tempat penampungan di Bali yang bergabung sebagai bagian dari asosiasi.

Setelah mengalami masa pandemic, Bayu menyaksikan bahwa jumlah turis lokal meningkat dengan cepat dan kini mendominasi dibandingkan turis mancanegara. Berdasarkan ciri-cirinya, para pelancong dalam negeri ini sangat peka terhadap harga, sehingga mereka lebih memilih penginapan selain di hotel bermerek.

"Kini tren menunjukkan bahwa semakin banyak pelancong lebih memilih penginapan alternatif seperti vila, guest house, atau homestay, bahkan hingga sewa kos dan rumah pribadi daripada tinggal di hotel. Di samping itu, sektor perhotelan dan real estat di Bali merupakan bidang usaha yang sangat menggiurkan, mendorong banyak individu untuk berinvestasi. Hal tersebut pada gilirannya membuat jumlah kamar tambahan melampaui kapasitas kedatangan turis," jelas Bayu kepada Tirto, Selasa (25/03/2025).

Pengaruh Berturut-turut dari Penyewaan Hotel Yang Tidak Wajar

Guru Besar Fakultas Ekonomi dan Bisnis Undiknas Denpasar, Ida Bagus Raka Suardana, mengamati efek signifikan yang disebabkan oleh pengurangan tingkat ocupancy rate hotel serta bocornya pendapatan ke sektor perumahan tidak teratur. Salah satu konsekuensinya yang paling jelas dapat diamati adalah pada aspek pemasukan pajak lokal karena berkurangnya pendapatan dari industri perhotelan.

"Saat itu juga, bangunan seperti vila dan permukiman liar yang menjalankan operasinya tanpa adanya persetujuan resmi biasanya tak dimasukkan ke dalam jaringan pengumpulan pajak. Hal tersebut menciptakan peluang bagi penerimaan pajak yang mungkin hilang dari bidang ini. Apabila hal ini diabaikan secara terus-menerus, maka dapat menghasilkan penurunan anggaran untuk konstruksi fasilitas umum serta penyediaan layanan publik yang memerlukan dukungan dari pajak wisata," papar Raka kepada Tirto, Senin (24/03/2025).

Raka mengkritik bahwa peningkatan konstruksi vila dan pemukiman liar di Bali mencerminkan kelemahan dalam pengawasan perijinan dan tata kota. Banyak pelaku usaha tidak lagi mendapatkan persetujuan resmi sebelum membangun vila, termasuk melakukan aktivitas mereka dengan cara-cara ilegal. Fenomena tersebut diperparah pula oleh animo pasar yang semakin besar pada bidang real estat.

"Bermacam investor, entah dari dalam negeri atau luar negeri, mengenali potensi besar di sektor properti Bali dan mendirikan penginapan yang tak selalu terekam dalam jaringan pajak setempat," katanya.

Di samping itu, Raka juga membahas tentang efisiensi belanja pemerintahan nasional serta situasi ekonomi dunia yang mempengaruhi sektor MICE. Penyusutan dana perjalanan bisnis oleh banyak lembaga pemerintah, khususnya untuk acara-acara MICE, ikut menyebabkan penurunan tingkat hunian di hotel. Perlu dicatat bahwa MICE adalah salah satu kontributor besar bagi seluruh industri akomodasi penginapan.

"Kebijakan efisiensi ini menyebabkan permintaan akan hotel bintang menurun dengan cukup signifikan, khususnya bagi tempat-tempat yang umumnya dipergunakan untuk acara konferensi atau rapat berskala besar. Dampak dari efisiensi tersebut dapat memberi akibat yang lebih luas kepada seluruh masyarakat di Bali," papar Raka.

Sebaliknya, Bayu dari Universitas Triatma Mulya mencatat adanya penyalahgunaan ketidaktegasan aturan oleh sejumlah individu dalam industri properti. Ia menyebutkan bahwa banyak pelaku turis yang merujuk pada identitas warga setempat guna mendirikan bangunan properti. Ditambah dengan fakta bahwa petugas berwenang terhadap kendala tertentu sulit melakukan pengawasan serta kontrol atas konstruksi tempat tinggal tersebut.

Masyarakat pun tergiur untuk melepas tanah mereka. Bayu menyaksikan bahwa sekarang di kampung-kampung, hak milik atas tanah telah berpindah tangan kepada pihak-pihak dari luar daerah. Cendrinya menuju pada pengembangan villa serta layanan akomodasi yang status perizinannya masih belum pasti.

"Peranan publik dalam menyelesaikan masalah tersebut sungguhlah vital. Jika masyarakat hanya diam, mustahil akan terjadi transformasi signifikan," jelasnya.

Kehadiran vila dan pemukiman liar mirip dengan sebuah paradoksal. Secara singkat, komunitas tersebut mendapatkan keuntungan dari peningkatan lapangan pekerjaan serta aktivitas ekonomi yang semakin berkembang. Tetapi, pada akhirnya, pemukiman liar akan memberikan dampak negatif secara jangka panjang yaitu menurunya penghasilan pajak, disertai degradasi lingkungan dan perubahan budaya sehingga menghalangi pencapaian pariwisata bertaraf tinggi.

"Secara keseluruhan hal itu sangat merugikan bagi masyarakat. Angka hunian yang rendah serta adanya kebocoran dalam sektor perhotelan tentunya akan mengecilkan pendapatan dari pajak. Jika pendapatan pajak berkurang, kemajuan pembangunan pasti akan tertahan," jelas Bayu.

Usaha Mengembalikan Tingkat Kunjungan Hotel di Bali

Tjok Bagus Pemayun, Kepala Dinas Pariwisata Propinsi Bali, mengakui adanya penurunan tingkat hunian hotel di Bali jika dibandingkan dengan periode sebelumnya. Hal ini disebabkan oleh perubahan preferensi para pelancong yang cenderung lebih suka menginap di vila, rumah tamu, atau penginapan keluarga daripada hotel-hotel tradisional. Salah satu faktor utama dari pergeseran perilaku konsumen itu mungkin karena biaya penerbangan yang cukup tinggi.

"Terus menerus dipantau oleh para pemangku kepentingan dalam industri pariwisata. Saat ini, harga tiket sudah mulai lebih wajar. Jalan tol yang menghubungkan Probolinggo dengan Paiton akan dibuka pada tanggal 24 Maret. Semoga ini merupakan indikasi positif bagi saya bahwa wisatawan domestik akan kembali berwisata ke Bali," jelas Pemayun di Jayasabha, Senin (24/03/2025).

Pemerintah Provinsi Bali tengah mengupaya keras membenahi sektor akomodasi, khususnya villa dan sewa rumah. Saat ini, Dinas Pariwisata Provinsi Bali bekerja sama dengan Bali Villa and Rental Management dalam proses pengumpulan data guna mendeteksi adanya villa tanpa izin.

"Rumah-rumah tidak sah ini dipaksa untuk menyelesaikan proses perizinannya. Sebenarnya pengurusan izin cukup sederhana melalui sistem OSS (online single submission). Adapun terdapat juga langkah-langkah tertentu yang harus dijalankan oleh Satpol PP dan persiapan metode pelaksanaan," jelas Pemayun.

Pada saat bersamaan, Raka menganggap masalah tingkat hunian hotel di Bali membutuhkan pendekatan menyeluruh dari beberapa pihak. Dia menyarankan agar pemerintah setempat meningkatkan aturan dan pemantauan terkait konstruksi villa serta tempat tinggal tanpa izin, melalui implementasi persetujuan yang lebih keras dan hukuman bagi para penyimpangan tersebut.

Kerjasama antara pemerintah, pengusaha hotel, serta platform sewa tempat tinggal semacam Airbnb harus diperkuat sehingga dapat ada aturan yang lebih transparan tentang pajak dan izin operasional dalam sektor akomodasi.

"Di samping itu, industri perhotelan perlu menjadi lebih responsif terhadap perkembangan perilaku pelancong dengan menyajikan model pelayanan yang semakin menarik, misalnya melalui penawaran paket pengalaman setempat ataupun sarana-sarana bertema pariwisata ramah lingkungan. Melalui upaya-upaya tersebut, diharapkan laju hunian hotel bisa pulih lagi serta kerugian dapat ditekan," imbuhnya.

Bayu dari Universitas Triatma Mulya menekankan bahwa penegakan hukum dan penyempurnaan aturan merupakan jawaban atas masalah hunian kosong yang meningkat serta kerugian di bidang penginapan. Tambahan pula, diperlukan pendampingan bagi para pemilik villa ilegal supaya bisa secepatnya mendapatkan persetujuan resmi mereka.

"Bisa saja, sebagian besar warga belum paham tentang aturan-aturan yang berkaitan dengan pengelolaan vila. Pihak berwenang bisa melibatkan institusi pendidikan di sini, seperti contohnya menyelenggarakan program kerja sama masyarakat guna meningkatkan manajemen vila serta fasilitas peristirahatan lain," demikian katanya.

Posting Komentar

0 Komentar