Ticker

6/recent/ticker-posts

Ad Code

AS Naikkan Tarif Impor RI hingga 32%, Sektor Otomotif dan Pakaian Terparah Diterjang

Presiden AS Donald Trump dengan tidak sengaja mengungkapkan tentang pemberlakuan bea masuk tambahan untuk beberapa negara. Ia menyebut tindakan tersebut sebagai 'Liberation Day' atau 'Hari Kemerdekaan,' merujuk pada awal dari kebijakan perang dagang yang dia usulkan. Dalam hal ini, Indonesia dijatuhi tarif impor senilai 32 persen.

Direktur serta Pendiri Center for Economic and Law Studies (CELIOS), Bhima Yudhistira, mengemukakan bahwa pengumuman kenaikan tarif resiprokal oleh Trump bakal memberikan dampak besar pada ekonomi Indonesia, lebih-lebih bagi industri otomotif dan tekstil.

"Bukan hanya ekspor Indonesia ke Amerika Serikat yang baru mencapai 10,5% dari total ekspor bukan minyak dan gas, tetapi dampaknya terhadap ekspor negara-negara lain pun cukup signifikan. Hal ini dapat memicu resesi perekonomian Indonesia pada kuarter IV tahun 2025," jelas Bhima saat berbicara dengan wartawan, Kamis (3/4).

Berdasarkan data dari Bhima, nilai ekspor barang otomotif Indonesia menuju Amerika Serikat di tahun 2023 telah mencapai angka USD 280,4 juta atau kira-kira sama dengan Rp 4,64 triliun (menggunakan kurs tukar Rp 16.600). Dalam rentang waktu antara tahun 2019 sampai 2023, tingkat pertumbuhan rata-rata untuk pengiriman produk otomotif Indonesia ke Amerika Serikat dinyatakan sekitar 11% tiap tahunnya.

"Bila tarif balasan mencapai 32%, hal ini akan mengancam sektor otomotif, elektronik, dan pakaian buatan Indonesia," tegasnya.

Dengan diberlakukannya tarif yang tinggi, biaya mobil di pasaran Amerika Serikat bakal naik, sehingga para pembeli harus merogoh kocek lebih dalam lagi. Hal ini kemudian diyakini akan mengakibatkan peningkatan jumlah uang yang dibayarkan oleh konsumen dan sekaligus memicu prediksi bahwa volume penjualan otomotif di negeri tersebut akan turun.

Selanjutnya, pengurangan dalam penjualan mobil bisa memperbesar kemungkinan terjadinya resesi ekonomi di Amerika Serikat akibat kelemahan permintaan. Ini pun memiliki dampak langsung kepada Indonesia, sebab adanya hubungan yang signifikan antara perekonomian kedua negara tersebut.

"Penurunan 1 persen pada pertumbuhan ekonomi Amerika Serikat bisa membuat perekonomian Indonesia merosot sekitar 0,08 persen," jelas Bhima.

Dia juga menyebutkan bahwa pabrikan otomotif di Indonesia tidak bisa begitu saja beralih ke pasar dalam negeri, sebab spesifikasi dari kendaraannya memang berbeda dibandingkan produk yang diekspor.

“Nanti imbasnya layoff Dan pengurangan kemampuan produksi seluruh sektor otomotif di tanah air. Tidak hanya bidang otomotif tetapi juga perakitan elektronik," terang Bhima.

Bukan hanya itu saja, Bhima menyebutkan pula bahwa industri tekstil dan kulit di Indonesia ikut mengalami dampak. Di tahun 2024, proporsi ekspor pakaian jadi menuju Amerika Serikat mendekati 61,4%, sementara untuk sepatu mencapai angka 33,8%.

Apabila tarif impor naik, perusahaan multinasional dengan pabrik di Indonesia mungkin akan mengurangi volume pesanan mereka.

"Saat dikenakan harga yang lebih tinggi, merek tersebut akan mengurangi volume pesanan kepada pabrik di Indonesia," katanya.

Bhima menyebutkan bahwa Indonesia perlu mempersiapkan diri dalam persaingan untuk merealisasikan kesempatan relokasi pabrik, serta tak cukup hanya mengandalkan kompetisi melalui tingkat tarif perdagangan bilateral yang lebih rendah dibandingkan dengan Vietnam dan Kamboja.

"Kunci utamanya adalah memiliki regulasi yang konsisten, proses perizinan yang efisien, tidak adanya undang-undang baru yang menimbulkan kontroversi, fasilitas infrastruktur penunjang zona industrial sudah siap, penyediaan energi terbarukan cukup untuk mendukung suplai listrik bagi industri, serta persiapan tenaga kerja," jelas dia.

Sejalan dengan pendapat Bhima, Direktur Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Tauhid Ahmad, juga menganggap bahwa tarif yang ditetapkan memiliki dampak signifikan terhadap perekonomian di Indonesia.

Tauhid menyatakan bahwa produk-produk yang terpengaruh meliputi teksstile, sepatu dan sandal, barang-barang kayu, serta batubara.

"Produsen barang-barang yang terpengaruh oleh tarif ini akan memangkas produksi mereka. Akibat berikutnya dapat dirasakan dalam hal efisiensi bahan baku, tenaga kerja, energi, serta pembelian material tambahan. Hal ini memiliki dampak signifikan, terlebih lagi bagi industri perdagangan. Sektor otomotif tentu tidak luput," ungkapnya.

Walau Indonesia memperoleh manfaat dari skema bernama Generalized System of Preferences (GSP) untuk sejumlah barang, bea tambahan yang dipasang AS masih menyebabkan harga produk-produk Indonesia yang diekspor kesana menjadi lebih tinggi.

"Penyesuaian tarif itu pun bakal mempengaruhi AS; paling tidak, peningkatan ini diterapkan untuk membantu produk dalam negeri mereka dapat bersaing dengan barang impor dari negara lain, termasuk Indonesia," jelasnya.

Efek tambahan lainnya ialah Indonesia tak dapat lagi merasakan keuntungan dari defisit neraca perdagangan. Umumnya, AS menjadi pasar impor utama bagi Indonesia sebelum disusul oleh India, Malaysia, dan Filipina.

"Jika ekspor Indonesia menuju Amerika, bernilai sekitar USD 23-24 miliar setiap tahun, menurun secara signifikan, khususnya pada tahun 2025 yang akan datang, saya memperkirakan angkanya dapat merosot di bawah USD 20 miliar. Apabila nilai tersebut anjlok dibawah USD 20 miliar, hal itu berpotensi menyebabkan defisit dalam neraca perdagangan yang lebih besar," ungkap Tauhid.

Tentang potongan tarif sebesar 32%, Tauhid menyebutkan bahwa aturan ini mencerminkan prinsip resiprokal atau pertukaran dengan AS sebagai tanggapan terhadap tarif yang diberlakukan oleh Indonesia kepada barang-barang mereka. Dia menambahkan bahwa tarif baru ini adalah jawaban atas keputusan perdagangan Indonesia sebelumnya.

"Amerika mengimplementasikan tarif hingga 32 persen sebagai respons atas tarif yang kami berlakukan terhadap negara mereka. Meskipun demikian, penting untuk disadari bahwa tarif maksimum dari Amerika dapat naik sampai 60 persen, dan umumnya hal ini diterapkan pada barang-barang yang dinilai sangat merugikan bagi kepentingan mereka," jelas Tauhid.

Posting Komentar

0 Komentar