CARI

Sunday, February 24, 2019

ASKEP/ASUHAN KEPERAWATAN GAGAL GINJAL KRONIK (CKD)

Gagal ginjal kronis CKD
A.   Pengertian
Gagal ginjal kronis (GGK) adalah hasil dari perkembangan dan ketidakmampuan kembalinya fungsi nefron.Gejala klinis yang serius sering tidak terjadi sampai jumlah nefron yang berfungsi menjadi rusak setidaknya 70-75% di bawah normal.Bahkan, konsentrasi elektrolit darah relatif normal dan volume cairan tubuh yang normal masih bisa di kembaikan sampai jumlah nefron yang berfungsi menurun di bawah 20-25 persen.(Guyton and Hall, 2014). Menurut Syamsir (2007) Chronic Kidney Disease (CKD) adalah kasus penurunan fungsi ginjal yang terjadi secara akut (kambuhan) maupun kronis (menahun).Penyakit ginjal kronis (Chronic Kidney Disease) terjadi apabila kedua ginjal sudah tidak mampu mempertahankan lingkungan dalam keadaaan yang cocok untuk kelangsungan hidup.Kerusakan pada kedua ginjal bersifat ireversibel.CKD disebabkan oleh berbagai penyakit.Brunner and Suddarth (2014) menjelaskan bahwa ketika pasien telah mengalami kerusakan ginjal yang berlanjut sehingga memerlukan terapi pengganti ginjal secara terus menerus, kondisi penyakit pasien telah masuk ke stadium akhir penyakit ginjal kronis, yang dikenal juga dengan gagal ginjal kronis.
Ahli lain menyatakan bahwa Penyakit ginjal kronis adalah suatu proses patofisiologis dengan etiologi yang beragam, mengakibatkan penurunan fungsi ginjal yang progresif, dan pada umumnya berakhir dengan gagal ginjal. Selanjutnya, gagal ginjal adalah suatu keadaan klinis yang ditandai dengan penurunan fungsi ginjal yang ireversibel, pada suatu derajat yang memerlukan terapi pengganti ginjal yang tetap, berupa dialisi atau transplantasi ginjal (Cynthia Lee Terry,2011).

B.   Etiologi
Di bawah ini ada beberapa penyebab CKD menurut Price dan Wilson (2006) diantaranya adalah penyakit infeksi tubula intestinal, penyakit peradangan, penyakit vaskuler hipertensif, gangguan jaringan ikat, gangguan kongenital dan herediter, penyakit metabolik, nefropati toksik, nefropati obsruktif. Beberapa contoh dari golongan penyakit tersebut adalah :
1.      Penyakit infeksi tubulointerstinal seperti pielo nefritis kronis dan refluks nefropati.
2.      Penyakit peradangan seperti glomerulonefritis.
3.      Penyakit vaskular seperti hipertensi, nefrosklerosis benigna, nefrosklerosis maligna, dan stenosis arteria renalis.
4.      Gangguan jaringan ikat seperti Lupus eritematosus sistemik, poliarteritis nodosa, dan seklerosis sistemik progresif.
5.      Gangguan kongenital dan herediter seperti penyakit ginjal polikistik, dan asidosis tubulus ginjal.
6.      Penyakit metabolik seperti diabetes militus, gout, dan hiperparatiroidisme, serta amiloidosis. g. Nefropati toksik seperti
7.      Nefropati obstruktif seperti traktus urinarius bagian atas yang terdiri dari batu, neoplasma, fibrosis retroperitoneal. Traktus urinarius bagian bawah yang terdiri dari hipertropi prostat, setriktur uretra, anomali kongenital leher vesika urinaria dan uretra.
C.   Patofisiologi
Patofisiologi penyakit ginjal kronis pada awalnya tergantung pada penyakit yang mendasarinya, tapi dalam perkembangan selanjutnya proses yang terjadi kurang lebih sama. Pengurangan massa ginjal mengakibatkan hipertrofi struktural dan fungsional nefron yang masih tersisa (surviving nephrons) sebagai upaya kompensasi yang diperantarai oleh molekul vasoaktif seperti sitokin dan growth factors. Hal ini mengakibatkan terjadinya hiperfiltrasi, yang diikuti oleh peningkatan kapiler dan aliran darah glomerulus. Proses adaptasi ini berlangsung singkat, akhirnya diikuti oleh proses maladaptasi berupa sklerosis nefron yang masih tersisa. Proses ini akhirnya diikuti dengan fungsi nefron yang progresif, walaupun penyakit dasarnya sudah tidak aktif lagi. Adanya peningkatan aktifitas aksis reninangiostensin-aldosteron intrarenal ikut memberikan kontribusi terhadap terjadinya hiperfiltrasi, sklerosis dan progresifitas tersebut.Aktivitas jangka panjang aksis renin-angiostensin-aldosteron, sebagian diperantarai oleh growth factor seperti transforming growth factor β (TGF- β).Beberapa hal yang juga dianggap berperan terhadap progresifitas penyakit ginjal kronis adalah albuminuria, hipertensi, hiperglikemia, dislipidemia.Terdapat variabilitas interindividual untuk terjadinya sklerosis dan fibrosis glomelurus maupun tubulointersitial.
Pada stadium paling dini penyakit ginjal kronis, terjadi kehilangan daya cadang ginjal (renal reserve) pada keadaan dimana basal LFG (Laju Filtrasi Glomelurus) masih normal atau malah meningkat. Kemudian secara perlahan tapi pasti, akan terjadi penurunan fungsi nefron yang progresif, yang ditandai dengan peningkatan kadar urea dan kreatinin serum. Sampai pada LFG sebesar 60%, pasien masih belum merasakan keluhan (asimtomatik), tapi sudah terjadi peningkatan kadar urea dan kreatinin serum. Sampai pada LFG sebesar 30%, mulai terjadi keluhan pada pasien seperti nokturia, badan lemah, mual, nafsu makan kurang dan penurunan berat badan. Sampai pada LFG di bawah 30% pasien memperlihatkan gejala dan tanda uremia yang nyata seperti anemia, hipertensi gangguan metabolisme fosfor dan kalsium, pruritus, mual, muntah dan lain sebagainya. Pasien juga mudah terkena infeksi seperti infeksi saluran kemih, infeksi saluran napas, maupun infeksi saluran cerna. Juga akan terjadi gangguan keseimbangan cairan seperti hipo atau hipervolemia, gangguan keseimbangan elektrolit antara lain natrium dan kalium. Pada LFG di bawah 15%akan terjadi gejala dan komplikasi yang lebih serius, dan pasien sudah memerlukan terapi pengganti ginjal (renal replacement therapy) antara lain dialisis atau transplantasi ginjal. Pada keadaan ini pasien dikatakan sampai pada stadium gagal ginjal (Brunner and Suddarth, 2014).

D.   Manifestasi Klinis
Menurut Suyono (2001) menjelaskan bahwa manifestasi klinis pada gagal ginjal kronik adalah sebagai berikut :
1.      Gangguan pada sistem gastrointestinal 1) Anoreksia, nausea, vomitus yag berhubungan dengan ganguan metabolisme protein di dalam usus, terbentuknya zat-zat toksin akibat metabolisme bakteri usus seperti ammonia danmelil guanidine serta sembabnya muosa usus. 2) Faktor uremik disebabkan oleh ureum yang berlebihan pada air liur diubah oleh bakteri dimulut menjadi amoni sehinnga nafas berbau amonia. 3) Gastritis erosife, ulkus peptic dan colitis uremik.
2.      Kulit 1) Kulit berwarna pucat, anemia dan kekuning-kuningan akibat penmbunan urokrom. Gatal-gatal akibat toksin uremin dan pengendapan kalsium di pori-pori kulit. 2) Ekimosis akibat gangguan hematologi. 3) Ure frost : akibat kristalsasi yang ada pada keringat. 4) Bekas-bekas garukan karena gatal.
3.      Sistem Hematologi 1)Anemia yang dapat disebabkan oleh berbagai faktor, antara lain : Berkurangnya produksi eritropoitin, hemolisis akibat berkurangnya masa hidup eritrosit dalam suasana uremia toksin, defisiensi besi, asam folat, dan lain-lain akibat nafsu makan yang berkurang, perdarhan, dan fibrosis sumsum tulang akibat hipertiroidism sekunder. 2) Gangguan fungsi trombosit dan trombositopenia.
4.      Sistem saraf dan otot 1) Restless Leg Syndrome, pasien merasa pegal pada kakinya sehinnga selalu digerakkan. 2) Burning Feet Syndrome, rasa semutan dan seperti terbakar terutama di telapak kaki. 3) Ensefalopati metabolik, lemah, tidak bisa tidur, gangguan konsetrasi, tremor, asteriksis, mioklonus, kejang. 4) Miopati, kelemahan dan hipertrofi otot terutama ekstermitas proksimal.
5.      Sistem kardiovaskuler 1) Hipertensi akibat penimbunan cairan dan garam atau peningkatan aktivitas sistem renin angiotensin aldosteron. 2) Nyeri dada dan sesak nafas akibat perikarditis atau gagal jantung akibat penimbunan cairan hipertensif. 3) Gangguan irama jantung akibat aterosklerosis, gangguan elektrolit dan klasifikasi metastasik. 4) Edema akibat penimbuna cairan.
6.      Sistem Endokrin 1) Gangguan seksual, libido, fertilitas, dan ereksi menurun pada laki-laki akibat testosteron dan spermatogenesis menurun. Pada wnita tibul gangguan menstruasi, gangguan ovulasi, sampai amenore. 2) Gangguan metabolisme glokusa, resistensi insulin dan gangguan sekresi insulin. 3) Gangguan metabolisme lemak. 4) Gangguan metabolisme vitamin D.
7.      Gangguan Sistem Lain 1) Tulang osteodistropi ginjal, yaitu osteomalasia, osteoslerosis, osteitis fibrosia dan klasifikasi metastasik. 2) Asidosis metabolik akibat penimbuna asam organik sebagai hasil metabolisme. 3) Elektrolit : hiperfosfotemia, hiperkalemia, hipokalsemia.

E.   Penatalaksanaan
1.      Manajemen terapi
Tujuan dari manajemen adalah untuk mempertahankan fungsi ginjal dan homeostasis selama mungkin.Semua faktor yang berkontribusi terhadap gagal ginjal kronis dan semua faktor yang reversibel (misal obstruksi) diindentifikasi dan diobati. Manajemen dicapai terutama dengan obat obatan dan terapi diet, meskipun dialisis mungkin juga diperlukan untuk menurunkan tingkat produk limbah uremik dalam darah (Brunner and Suddarth, 2014) a. Terapi farmakologis Komplikasi dapat dicegah atau ditunda dengan pemberian resep antihipertensi, eritropoitin, suplemen Fe, suplemen fosfat, dan kalsium (Brunner and Suddarth, 2014).
2.      Antasida
Hyperphosphatemia dan hipokalsemia memerlukan antasid yang merupakan zat senyawa alumunium yang mampu mengikat fosfor pada makanan di dalam saluran pencernaan.Kekhawatiran jangka panjang tentang potensi toksisitas alumunium dan asosiasi alumunium tingkat tinggi dengan gejala neurologis dan osteomalasia telah menyebabkan beberapa dokter untuk meresepkan kalsium karbonat di tempat dosis tinggi antasid berbasis alumunium.Obat ini mengikat fosfor dalam saluran usus dan memungkinkan penggunaan dosis antasida yang lebih kecil.Kalsium karbonat dan fosforbinding, keduanya harus di berikan dengan makanan yang efektif.Antasid berbasis magnesium harus dihindari untuk mencegah keracunan magnesium (Brunner and Suddarth, 2014).
3.      Antihipertensi dan kardiovaskuler agen Hipertensi dapat dikelola dengan mengontrol volume cairan intravaskular dan berbagai obat antihipertensi.Gagal jantung dan edema paru mungkin juga memerlukan pengobatan dengan pembatasan cairan, diet rendah natrium, agen diuretik, agen inotropik seperti digitalis atau dobutamin, dan dialisis.Asidosis metabolik yang disebabkan dari gagal ginjal kronis biasanya tidak menghasilkan gejala dan tidak memerlukan pengobatan, namun suplemen natrium bikarbonat atau dialisis mungkin diperlukan untuk mengoreksi asidosis jika hal itu menyebabkan gejala (Brunner and Suddarth, 2014).
4.      Agen antisezure Kelainan neurologis dapat terjadi, sehingga pasien harus diamati jika terdapat kedutan untuk fase awalnya, sakit kepala, delirium, atau aktivitas kejang.Jika kejang terjadi, onset kejang dicatat bersama dengan jenis, durasi, dan efek umum pada pasien, dan segera beritahu dosen segera. Diazepam intravena (valium) atau phenytoin (dilantin) biasanya diberikan untuk mengendalikan kejang. Tempat tidur pasien harus diberikan pengaman agar saat pasien kejang tidak terjatuh dan mengalami cidera (Brunner and Suddarth, 2014).
5.      Eritropoetin Anemia berhubungan dengan gagal ginjal kronis diobati dengan eritropoetin manusia rekombinan (epogen).Pasien pucat (hematokrit kurang dari 30%) terdapat gejala nonspesifik seperti malaise, fatigability umum, dan intoleransi aktivitas.Terapi epogen dimulai sejak hematokrit 33% menjadi 38%, umumnya meredakan gejala anemia.Epogen diberikan baik intravena atau subkutan tiga kali seminggu.Diperlukan 2-6 minggu untuk meningkatkan hematokrit, oleh karena itu epogen tidak 17 diindikasikan untuk pasien yang perlu koreksi anemia akut.Efek samping terlihat dengan terapi epogen termasuk hipertensi (khususnya selama awal tahap pengobatan), penigkatan pembekuan situs askes vaskular, kejang, dan kelebihan Fe (Brunner and Suddarth, 2014). 6. Terapi gizi Intervensi diet pada pasien gagal ginjal kronis cukup kompleks, asupan cairan dikurangi untuk mengurangi cairan yang tertimbun dalam tubuh. Asupan natrium juga perlu diperhatikan untuk menyeimbangkan retensi natrium dalam darah, natrium yang dianjurkan adalah 40-90 mEq/ hari (1-2 gr natrium), dan pembatasan kalium. Pada saat yang sama, asupan kalori dan asupan vitamin harus adekuat. Protein dibatasi karena urea, asam urat, dan asam organik hasil pemecahan makanan dan protein menumpuk dalam darah ketika ada gangguan pembersihan di ginjal. Pembatasan protein adalah dengan diet yang mengandung 0,25 gr protein yang tidak dibatasi kualitasnya per kilogram berat badan per hari. Tambahan karbohidrat dapat diberikan juga untuk mencegah pecahan protein tubuh. Jumlah kebutuhan protein biasanya dilonggarkan hingga 60-80 gr/ hari (1,0 kg per hari) apabila pendrita mendapatkan pengobatan hemodialisis teratur (Price dan wilson, 2006). Asupan cairan sekitar 500 sampai 600 ml lebih banyak dari output urin selama 24 jam. Asupan kalori harus adekuat untuk pencegahan pengeluaran energi berlebih.Vitamin dan suplemen diperlukan kerena diet protein yang dibatasi.Pasien dialisis juga kemungkinan kehilangan vitamin yang larut dalam darah saat melakukan hemodialisa (Brunner and Suddarth, 2014). 7. Terapi dialisis Hiperkalemi biasanya dicegah dengan memastikan dialisis yang memadai, mengeluarkan kalium dan pemantauan seksama terhadap semua obat obatan baik peroral maupun intravena. Pasien harus diet rendah kalium. Kayexalate, resin kation terkadang diberikan peroral jika diperlukan.Pasien dengan peningkatan gejala kronis gagal ginjal progresif. Dialisis biasanya dimulai ketika pasien tidak dapat mempertahankan gaya 18 hidup yang wajar dengan pengobatan konservatif (Brunner and Suddarth, 2014). Pengkajian dan penegakan diagnosa : a. Laju filtrasi glomelurus Penurunan LFG dapat dideteksi dengan pengujian kadar ureum kreatinin selama 24 jam. Nilai bersihan kreatinin akan menurun sedangkan kreatinin serum dan kadar BUN meningkat. Kreatinin serum merupakan indikator yang sensitif terhadap fungsi ginjal karena produksinya yang konstan dalam tubuh.BUN dipengaruhi tidak hanya dipengaruhi oleh ginjal, tetapi juga di pengaruhi oleh asupan protein, katabolisme, nutrisi parenteral, dan obat obatan kortikosteroid. b. Retensi natrium dan air Penderita gagal ginjal kronis tidak dapat mengkonsentrasikan atau mengencerkan urin secara normal.Pada keadaan normal ginjal merespon masukan cairan dan elektrolit untuk menjaga kestabilan di dalam tubuh, namun hal tersebut tidak terjadi pada penderita gagal ginjal kronis.Pada beberapa kasus terdapat retensi natrium dan air sehingga meningkatkan resiko terjadinya edema, gagal jantung, dan hipertensi.Hipertensi dapat pula terjadi sebagai akibat dari aktifasi dari respon berantai renin – angiostensin – aldosteron dan bersamaan dengan peningkatan aldosteron. Pasien lainnya memiliki kecenderungan untuk kehilangan garam dan menjadikannya beresiko terhadap terjadinya hipotensi dan hipovolemi, hal ini akan memperburuk keadaan uremik. c. Asidosis Penyakit gagal ginjal kronis, menyebabkan terjadinya asidosis metabolik karena ginjal tidak dapat mengeluarkan banyak peningkatan asam.Penurun asam sekresi terutama hasil dari ketidakmampuan tubulus ginjal untuk mengsekresikan amonia (NH3) dan juga 19 penurunan eksresi kembali bikarbonat (HCO3) serta penurunan eksresi fosfat dan asam organik lainnya. d. Anemia Anemia berkembang sebagai akibat dari produksi erytropoetin yang tidak memadai, rentang hidup singkat dari sel darah merah, kekurangan gizi, dan kecenderungan pasien perdarahan.Erythropoietin zat yang diproduksi oleh ginjal, merangsang tulang belakang untuk memproduksi sel darah merah.Pada ginjal, penurunan produksi erythropoeting dan hasil anemia yang mendalam menyebaban kelelahan, angina, dan sesaak napas. Adapula rencana penatalaksanaan penyakit gagal ginjal sesuai dengan derajatnya 1) Dengan LFG lebih dari atau sama dengan 90% yaitu dengan terapi penyakit dasar, kondisi komorbid, evaluasi pemburukan funsi ginjal, memperkecil risiko kardiovaskular 2) Dengan LFG 60-89% yaitu dengan menghambat pemburukan fungsi ginjal 3) Dengan LFG 30-59% yaitu dengan evaluasi dan terapi komplikasi 4) Dengan LFG 15-29% yaitu dengan memberikan persiapan untuk terapi pegngganti ginjal 5) Dengan LFG di bawah 15% yaitu dengan memberikan pengganti ginjal.


F.    Diagnosa Keperawatan
Merupakan keputusan klinis menenai seseorang, keluarga, atau masyarakat sebagai akibat dari masalah kesehatan atau proses kehidupan yang aktual atau potensial. Masalah aktual adalah masalah yang di temukan pada saat pengkajian, sedangkan masalah potensial adalah masalah yang kemudian hari akan terjadi(Herdman, 2011).
a.       Kelebihan volume cairan berhubangan dengan retensi Na dan H2O.
b.      Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan pruritus.
c.       Ketidak seimbangan asupan nutrisi kurang dari kebutuhan berhubungan dengan mual muntah.
d.      Intoleransi aktivitas berhubungan dengan penurunan suplai oksigen.
e.       Ketidak efektifan perfusi jaringan perifer berhubungan dengan penurunan suplai O2.
f.       Nyeri berhubungan dengan fatigue dan nyeri sendi.
g.      Gangguan pertukaran gas berhubungan dengan edema paru.


DAFTAR PUSTAKA

Carpenito, L. J. 2013. BukuSakuDiagnosaKeperawatan, Jakarta : EGC.
Deswani. 2009. Proses Keperawatan dan Berpikir Kritis. Jakarta: Salemba Medika Internasional,
NANDA,(2012). Diagnosis KeperawatanDifinisi dan Klasifikasi(2012- 2014). Jakarta : EGC
Nurarif. A.H. & Kusuma. H. 2015. Aplikasi NANDA NIC-NOC. Jilid 1, 2 dan 3.Yogyakarta. Media Action.
Potter & Perry. 2005. Buku ajar Fundamental Keperawatan Edisi 4. EGC, jakarta.
Tarwoto&Wartonah, 2006, KebutuhanDasarManusiadan Proses Keperawatan, Jakarta: Salemba Medika .
Willkinson, Judith M. 2011. Buku Saku Diagnosis Keperawatan : diagnosis NANDA, Intervensi NIC, Kriteria Hasil / NOC. Alih bahasa : Esty Wahyuningsih, editor edisi bahasa Indonesia: Dwi Widiarti. Edisi 9. Jakarta: EGC.

No comments:

Post a Comment